Tembang Jawa langgam dandanggula dilantunkan sekelompok seni musik tradisional “Pitutur” dari sekitar Candi Borobudur, mengiring prosesi ritual di tempat persemadian pemahat batu Muntilan, Raden Tumenggung Khamid Djajaprana (73).
“’Angedahken mring dosa-dosa sayekti. Wong kang ceget ibu watekira. Adoh marang bilahine. Mangkono tiyangipun. Wong kang amrih harganing diri. Ati pangolahira. Batin ugeri ing lahir sartaning badra. Iku aran kelakuan ingkang becik. Merganing miring utama’,” begitu syair tembang itu dilantungkan Dirman, anggota grup musik tradisional “Sabda Jati” Dusun Gleyoran, Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kira-kira, tembang itu bertutur tentang pentingnya manusia selalu mencari jalan keutamaan dalam kehidupannya.
Tabuhan alat musik seperti terbang, jedor, dan kendang mengiring lantunan tembang-tembang berikutnya oleh para anggota lainnya yang dipandu oleh dua orang, Suyoto dan Pandul, dengan masing-masing memegang Al Quran.
Suasana terkesan merasuk takzim. Djajaprana didampingi seorang kakaknya yang juga pemahat batu, Kasrin Hendroprayono (74) dan seniman Padepokan Gunung Tidar yang juga penyair Kota Magelang Es Wibowo, duduk bersila di satu ruang tertinggi serta paling ujung, untuk tempat semadi. Mereka masing-masing mengenakan tutup kepala iket dan belangkon.
Di depan mereka telah diletakkan di altar batu, berupa sesaji seperti tumpeng dengan urap dan telur di atas tampah, jenang merah dan putih di atas piring, lilin di atas cobek kecil, dua tempayan berisi air kembang mawar merah dan putih, tiga buah degan, ingkung di atas piring porselin, dan berbagai buah-buahan, serta palawija.
Selain itu, taburan bunga mawar di atas kain warna biru dan hitam membentang di tangga menuju tempat semadi tersebut, serta beberapa instalasi janur kuning diletakkan di beberapa tempat, turut mendukung tercipta suasana takzim rumah tinggal cukup besar dengan berdinding tebal milik Djajaprana.
Djajaprana adalah anak terakhir di antara enam bersaudara, keturunan seorang pemahat batu yang turut bekerja saat restorasi pertama Candi Borobudur dipimpin Theodor van Erp (1907-1911), Salim Djajapawira. Salim yang beristri Nasimah itu meninggal dunia pada 1979 dalam usia 93 tahun, sedangkan Nasimah meninggal pada 1990 dalam usia 85 tahun.
Puluhan orang menjalani prosesi itu sebagai rangkaian “Ritual Memetri Selo Redi Merapi”, tanda telah selesai pembuatan patung raksasa homo erectus oleh 10 pemahat batu Sanggar Seni Pahat “Sanjaya” di Dusun Prumpung Sidoarjo, Desa Taman Agung, Kecamatan Muntilan pimpinan Djajaprana. Rangkaian prosesi itu digarap oleh komunitas Warung Info Jagad Cleguk (WIJC) Borobudur pimpinan Sucoro.
Mereka kemudian berjalan kaki sejauh sekitar 100 meter menuju bengkel kerja para pemahat tersebut di tepi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, tak jauh dari Jembatan Prumpung.
Jembatan itu melintang di atas alur Sungai Pabelan. Aliran air kali tersebut berhulu di pertemuan muara dua sungai yakni Tringsing dan Apu, sedangkan dua sungai itu berhulu di Gunung Merapi.
Patung homo erectus (manusia berdiri tegak) setinggi 3,40 meter tampak gagah dan kukuh di halaman depan satu bagian sanggar kerja para pemahat pimpinan Djajaprana.
Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo juga tampak hadir pada kesempatan itu mewakili Kepala Balai Penelitian Situs Manusia Purba Sangiran Harry Widianto.
Rencananya, pada pertengahan November 2012, patung homo erectus itu diusung dari tepi Kali Pabelan tersebut menuju Museum Manusia Purba Sangiran, kaki Gunung Lawu, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Museum di kawasan situs warisan dunia itu di bawah pengelolaan Balai Penelitian Situs Manusia Purba Sangiran.
“Kalau saat kami memulai membuat patung, kami mengucap bismilah, sekarang kami mengucap alhamdulilah karena telah selesai. Dan mohon doa agar perjalanan patung ini menuju Sangiran bisa lancar dan selamat,” kata Djajaprana.
Batu Menyerupai Manusia
Patung homo erectus dengan batu utuh setinggi empat meter yang ditemukan Djajaprana di lereng barat Gunung Merapi, di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Magelang tersebut, dikerjakan secara maraton, siang dan malam, sejak 1 Oktober 2012.
Ia menyebut batu itu bukan kategori batu hitam atau putih, akan tetapi telah menyerupai manusia. Djajaprana yang sejak 1955 menjadi pemahat batu melalui kemahiran secara turun temurun itu, riset selama satu minggu untuk menemukan karakter dasar homo erectus yang kemudian dituangkan secara persis dalam wujud patung tersebut.
“Menggali gambar, mencari inspirasi termasuk melalui meditasi, lalu menuangkan ke batu. Homo erectus, nenek moyang kita itu karakternya jujur, tangguh, dan mau bekerja keras,” kata Djajaprana yang memiliki dua istri, Wagiyem (almarhum) dan Soiyah (66) dengan 15 anak, 33 cucu, dan dua buyut.
Ia mengaku secara spontan tergugah ketika ditemui Kepala Balai Penelitian Situs Manusia Purba Sangiran yang juga arkeolog senior Harry Widianto pada akhir September 2012. Harry memintanya membuat patung homo erectus untuk ditempatkan di Museum Manusia Purba Sangiran.
Djajaprana pernah mengajarkan kemampuan pahat batu kepada 16 warga di satu kampung di Sangiran, selama tiga hari pada 1978.
“Saya merasa ’gemregah’ (tergugah, red.) ketika diminta membuat patung ini. Ini penghormatan terhadap leluhur. Ketika ke Sangiran beberapa waktu lalu, masih ada orang di sana yang ingat saya,” katanya.
Para peserta prosesi ritual itu pun kemudian meletakkan aneka sesaji di bawah patung homo erectus yang juga telah dihiasi berbagai dedaunan warna hijau. Kasrin dan Es Wibowo memercikkan air kembang mawar di patung tersebut, sedangkan Marsis Sutopo memecahkan telur di patung itu sebagai tanda prosesi ritual.
Bunyi tetabuhan musik “Pitutur” oleh grup kesenian yang dipimpin Suyoto itu tiada berhenti. Mereka melantunkan syair tembang dengan menyebut berulang kali nama Allah SWTdan Nabi Muhammad SAW.
Kisah sejarah penting bagi peradaban dunia tentang manusia purba itu dikumandangkan oleh Es Wibowo melalui tiga bait puisi karyanya bertajuk “Homo Erectus”.
“Sangiran Tahun 1891 pagi beku. Masih terbayang dalam ingatan. Eugene Dubois menemukan tengkorak purbaku. Tengkorak yang kemudian hari. Dijumputi fosilnya dari tanah tandus. Dan dinubuatkan kebenaran atasku Homo Erectus. 121 tahun kemudian di Prumpung. Djajaprana dengan batu Merapi. Memahat kematianku. Dalam wujud patung mata murung. Untukmu peradaban. Disujudkan martabatku cinta agung,” begitu bait pertama dan kedua puisi itu.
“Sekarang aku bangkit dari tidur. Menatap kubah Merapi. Membokongi stupa Borobudur. Dan umat berbudi luhur. Berebut bunga menyawurkan duka ke tubuhku. Tetapi tubuhku mengeras jadi batu. Ditinggalkan riwayat manusia purba dileburnya. Ditanggalkansejarah Homo Erectus dikuburnya,” demikian bait ketiga puisi yang dibacakan sang penulisnya itu.
Pada kesempatan itu Marsis memintakan izin Harry yang tidak hadir pada prosesi itu karena sedang berduka atas kematian orang tuanya di Kota Magelang.
“Arca ini ’ngedap-edapi’ (spektakuler). Djajaprana dengan penuh dedikasi membuat arca ini. Ini akan dipasang di Museum Sangiran. Museum Sangiran sebagai situs paling lengkap di dunia tentang manusia purba yang telah ditetapkan UNESCO (Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan) sebagai warisan peradaban dunia,” kata Marsis Sutopo yang juga arkeolog itu.
Pada kesempatan itu ia antara lain menjelaskan secara singkat tentang evolusi manusia, binatang, fosil manusia purba homo erectus, dan berbagai peralatan batu yang banyak ditemukan di Situs Sangiran. Fosil terkait homo erectus yang berumur antara 2-2,5 juta tahun di Sangiran ditemukan Marie Eugene Francois Thomas Dubois pada 1891.
Eugene Dubois (1858-1940) adalah dokter anatomi berkebangsaan Belanda yang datang ke Jawa pada 1887. Waktu senggangnya bekerja di satu rumah sakit, dimanfaatkan untuk menyusuri tepian kanan dan kiri Sungai Bengawan Solo, sambil meneliti lokasi yang berpotensi sebagai pendaman tulang-tulang manusia purba.
Pada 1890 di Sangiran, Eugene Dubois yang terobsesi dengan teori evolusi Darwin (Charles Darwin 1809-1882) itu menemukan sepotong geraham manusia purba, pada 1891 di Trinil (Solo) menemukan tengkorak, dan pada 1892 menemukan tulang kaki. Pada 1894, ia menyusun laporan hasil penelitian tentang manusia kera yang berdiri tegak atau manusia Jawa itu yang kemudian disebut homo erectus.
“Jangan bayangkan homo erectus masa itu setinggi dan sebesar patung ini, paling tidak seperti kita-kita ini,” katanya.
Marsis menyebut adanya salah kaprah bahwa seakan-akan manusia berasal dari kera. Padahal, antara manusia dengan kera mempunyai sejarah dan “induk” sendiri-sendiri.
Mudah-mudahan patung homo erectus terbuat dari batu besar Gunung Merapi, karya pemahat yang tinggal tak jauh dari Candi Borobudur itu, menghidupkan Museum Sangiran di situs manusia purbakala.
“Sehingga namanya makin hidup mendunia,” kata Marsis Sutopo.
Oleh M. Hari Atmoko | kompas.com